Resensi "Cheng Cheng Po" (2007)
Cheng Cheng Po, film berdurasi 17 menit itu, mencoba
mengangkat tema multikultur dari sudut pandang anak-anak. Berkisah
tentang Markus, Tyara, Tohir dan Han, yang datang dari keluarga berbeda
latarbelakang dan etnis. Meski demikian, hal itu tak membuat mereka
menjadi berjarak. Persahabatan mereka begitu tulus hingga merobohkan
sekat-sekat perbedaan yang ada. Markus, Tyara dan Tohir, yang memiliki obsesi
yang saling berbeda, memilih untuk sejenak melupakannya demi menolong Han,
bocah miskin dalam mencapai impiannya. (http://entertainment.kompas.com/read/2008/12/12/e223849/cheng.cheng.po.film.pendek.terbaik
, 12 Desember 2008, 22:38)
Multikulturalisme, sering kali menjadi kata yang
digunakan untuk menggambarkan Indonesia. Namun dalam realita kehidupan, multiculturalism sering
dianggap sebagai “pembeda” sehingga terjadi pembedaan perlakuan antara satu
dengan yang lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pertikaian dan masalah
yang ditimbulkan dari perbedaan kepentingan, suku, budaya, ras, dan agama.
Padahal jika ditelaah lebih jauh, bangsa Indonesia merupakan bangsa
pendatang ––atau dengan kata lain tidak ada masyarakat yang asli pribumi,
dan bukankah persatuan itu disebabkan karena adanya perbedaan?
Peduli dan toleransi.
Sifat tersebut tergambar jelas oleh beberapa anak yang terdapat dalam
film tersebut. Berbagai perbedaan ras dan agama tidak menjadi pembeda diantara
mereka untuk bersahabat, saling berbagi dan membantu. Dalam film tersebut
tergambar bahwa mereka (baca: anak-anak) memiliki kepedulian yang
besar terhadap masalah yang dihadapi teman mereka. Hal yang menarik adalah
inisiatif dari anak-anak tersebut membuat pertunjukkan barongsai untuk
menghasilkan uang yang akan digunakan untuk membantu pembayaran SPP teman
mereka, meskipun modal pertunjukkan yang mereka lakukan didapatkan
dari hasil curian dari rumah mereka sendiri. Mereka melakukannya bukan
dengan tanpa alasan, melainkan karena orang tua mereka tidak menyetujui mereka membantu
temannya karena perbedaan suku. Dengan keterbatasan pemahaman, adalah hal yang
wajar jika terkadang anak-anak kecil ingin melakukan kebaikan dengan cara
apapun. Ketulusan dan kepedulian inilah yang tampaknya perlu kita dan orangtua
mereka perhatikan. Pengetahuan tentang toleransi yang didapatkan pada mata
pelajaran Agama dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di Sekolah
Dasar serta tidak adanya kepentingan yang melatarbelakangi tindakan mereka
membuat mereka mereka saling melengkapi perbedaan satu sama lain hingga yang
tampak hanya persatuan. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah mungkin perbedaan
yang menyebabkan perpecahan? atau mungkin sekedar lupa dengan sila ketiga
Pancasila “Persatuan Indonesia” dan semboyan negara kita “Bhineka
Tunggal Ika?”.
Semacam cara jenaka untuk
memaknai Bhinneka Tunggal Ika. Film ini berkisah tentang Markus dan kulit
hitamnya. Tyara dengan batik parang garuda, dan Tohir dengan inspirasi
teka-teki silang untuk membantu sahabat mereka. Han, seorang anak lelaki
Tionghoa yang hampir kehilangan mimpinya. Bagi anak-anak itu, memahami
perbedaan adalah persoalan yang sederhana, sesederhana cheng-cheng po. (Andhika Rakhmanda di
Pojok Filsafat UGM, 29 April 2011- http://www.cawankecil.info/2011/07/cheng-cheng-po-ketika-perbedaan-berbuah.html)